Rabu, 07 Februari 2018

Ke FKUI Museum IMERI.

Kemarin aku ikut jalan-jalan ke FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) lebih tepatnya ke museum IMERI (Indonesia Museum of Health Medicine). Ya, museum kesehatan. Museum ini baru diresmikan pada bulan September 2017 lalu. Jadi museum ini termasuk museum baru yang ada di Jakarta.     

Aku ke sana bersama rombongan anak-anak homeschooling. Saat di sana aku bertemu dengan 2 teman lamaku yaitu Rio dan Abel. Mereka adalah temanku saat aku masih duduk dibangku SD. Kami di pandu oleh 2 pemandu dokter. Menurutku, seru sekali saat di sana. Soalnya saat di museum IMERI ada alat khusus untuk laki-laki 13+ yang bisa merasakan rasanya jadi ibu-ibu yang sedang hamil! Aku dan Rio pun mencobanya. Ternyata berat sekali, ya! Mau duduk saja sudah susah apalagi kalau mau jongkok. Berat alat ini adalah 11 kg.

Di sana juga dijelaskan bagaimana sejarah kesehatan di Indonesia dimulai. Pada tahun 1846 terjadi wabah berbagai penyakit di Jawa Tengah dengan angka kematian yang sangat tinggi, terutama wabah cacar masif di Karesidenan Banyumas pada tahun 1847. Dulu orang pribumi belum mengenal yang namanya medis, jadi jika ada orang yang sakit, dia akan dibawa ke dukun untuk di sembuhkan dengan ilmu hitam. 




Sampai Dr. Willem Bosch (1798-1874), Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda, mengusulkan rencana pembentukan suatu kelompok dokter pribumi yang mampu melakukan penanganan masalah kesehatan. Pada bulan Oktober 1847, Dr. W. Bosch menyarankan pendirian sekolah pendidikan kedokteran bagi orang pribumi ke pemerintah Hindia Belanda (11 Oktober 1847; letter No. 134). Pada tanggal 2 Januari 1849, terbitlah Keputusan  Pemerintah No. 22, yang menetapkan bahwa “Sejumlah 30 pemuda suku Jawa akan dididik secara cuma-cuma menjadi tenaga dalam bidang kesehatan dan vaksinatur di beberapa rumah sakit militer”.





Pada tanggal 1 Januari 1851, berdiri sekolah pelatihan dokter pribumi di rumah sakit militer Batavia. Dr.Pieter Bleeker (1819-1878) adalah seorang perwira kesehatan, tangan kanan Dr. W. Bosch, yang ditunjuk menjadi direktur sekolah pelatihan dokter pribumi (1851-1860).

Di awal pendidikan, terdapat 12 murid dan lama pendidikan adalah 2 tahun. Kurikulum pendidikan mencakup ilmu pasti, ilmu alam, ilmu kimia, botani, zoology, ilmu patologi, ilmu kebidanan, ilmu bedah, dan ilmu vaksinasi. Pendidikan diberikan dalam Bahasa Melayu. Pada tahun  1853, lulus 11 orang dan diberi gelar Dokter Djawa (berdasarkan Keputusan Pemeritah No. 10 tanggal 5 Juni 1854), namun masih dipekerjakan sebagai mantra cacar/vaksinatur. Selanjutnya oleh dinas kesehatan mereka ditempatkan di daerah-daerah sebagai petugas kesehatan di bawah pengawasan dokter-dokter militer dan sipil. Nama lembaga pendidikan kemudian berubah menjadi Dokter Djawa School.



Dr. Hermanus Frederik Roll (1867-1935), adalah pendiri dan direktur pertama STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) dalam bahasa Indonesia artinya: Sekolah Pendidikan Dokter Hindia.




Prasasti ini dibuat oleh murid-muridnya (para dokter lulusan STOVIA) sebagai bentuk penghormatan dan untuk mengenang Dr. H.F. Roll atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan perbaikan mutu pendidikan kedokteran dan mendukung kegiatan organisasi mahasiswa.

Apresiasi terhadap Dr. H.F. Roll tertuang dalam tulisan di prasasti: “Ingenium Vitamque Dedit Qui Sponte Perenni Proposito Nomen Percipiet Meritum”, yang berarti: “Apresiasi kepada seseorang yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya.” Dan kalau masih penasaran pengen tau tentang sejarahnya yang lebih detail, datang saja langsung ke museumnya! Aku rasa kepanjangan  jika harus mengetik  menjelaskan semua sejarahnya! Hehehehe.....



Semua jejak perjalanan panjang bertumbuh dan berkembangnya ilmu kesehatan di Indonesia, tercatat rapi di sini.

Setelah kami diajak berkeliling ke semua ruangan museum sambil dijelaskan oleh pemandunya, kami berhenti di ruangan bermain anak-anak. Nah, di sini pemandunya menjelaskan bagaimana cara menggosok gigi dan cuci tangan dengan bersih dan benar dengan memberi contoh simulasi.

Sesudahnya, kami diajak ke sebuah ruangan khusus, dan hanya anak 13 tahun ke atas yang diijinkan masuk. Beruntung pada saat itu umurku sudah 13 tahun, jadi aku boleh masuk, deh. Ternyata, di dalam ruangan itu tersimpan koleksi bagian-bagian tubuh manusia yang asli. Dari janin hingga manusia dewasa. Untuk menghormati pemilik dari bagian tubuh tersebut maka peraturannya dilarang memotret atau berfoto di ruangan itu. Bagian tubuh yang dipajang bahkan sudah ada dari zaman Belanda yang diawetkan dengan cairan formalin. Pemiliknya memang sudah mengijinkan untuk menyumbangkan bagian-bagian tubuhnya untuk penelitian dan kemajuan ilmu kedokteran. Sehingga kebermanfaatannya bisa kita pelajari hingga saat ini dan masa yang akan datang. Mungkin kalau mereka tidak menyumbangkan bagian-bagian tubuhnya, ilmu kedokteran tidak akan secanggih sekarang.

Aku kaget bercampur merinding saat masuk ke ruangan tersebut karena selama ini aku belum pernah melihat yang seperti itu.

Tapi, aku lega setelah pemandunya menjelaskan bahwa pemiliknya telah ikhlas menyumbangkan bagian-bagian tubuhnya untuk kemajuan ilmu kedokteran di Indonesia.

Di akhir sesi kunjungan ke museum, kami langsung diberi goodiebag yang isinya brosur dan lembar kerja siswa sesuai usianya.


Saat semua sudah selesai, aku, Rio, Abel, Aqila, dan Fayyaz merasa lapar. Kami sepakat ingin makan siang bareng di Megaria food court, tempat yang letaknya tak jauh dari FKUI.(Aqila dan Fayyaz adalah adik kelasku saat aku masih SD).


Ini adalah foto-fotoku saat di museum IMERI.



Ini adalah penandatanganan prasati peletakan batu pertama
di gedung Salemba atau di gedung FKUI, 26 Agustus 1916.







Saat pemandunya menjelaskan 
ke rombongan homeschooling kita 
semua bagaimana proses pewarisan 
sifat kita dari orang tua kita. 




Ini adalah buku absen atau buku keterangan studi para siswa kedokteran zaman dulu di Geneeskundige Hoogeschool.










                                                 
Gedung miniatur FKUI di Jakarta Pusat.
                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar