Kemarin aku
ikut jalan-jalan ke FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) lebih
tepatnya ke museum IMERI (Indonesia Museum of Health Medicine). Ya, museum
kesehatan. Museum ini baru diresmikan pada bulan September 2017 lalu. Jadi
museum ini termasuk museum baru yang ada di Jakarta.
Aku ke sana
bersama rombongan anak-anak homeschooling. Saat di sana aku bertemu dengan 2 teman lamaku yaitu Rio dan Abel.
Mereka adalah temanku saat aku masih duduk dibangku SD. Kami di pandu oleh 2
pemandu dokter. Menurutku, seru sekali saat di sana. Soalnya saat di museum
IMERI ada alat khusus untuk laki-laki 13+ yang bisa merasakan rasanya jadi ibu-ibu
yang sedang hamil! Aku dan Rio pun mencobanya.
Ternyata berat sekali, ya! Mau duduk saja sudah susah apalagi kalau mau
jongkok. Berat alat ini adalah 11 kg.
Di sana juga
dijelaskan bagaimana sejarah kesehatan di Indonesia dimulai. Pada tahun 1846
terjadi wabah berbagai penyakit di Jawa Tengah dengan angka kematian yang
sangat tinggi, terutama wabah cacar masif di Karesidenan Banyumas pada tahun
1847. Dulu orang pribumi belum mengenal yang namanya medis, jadi jika ada orang
yang sakit, dia akan dibawa ke dukun untuk di sembuhkan dengan ilmu hitam.
Sampai Dr. Willem Bosch (1798-1874), Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda, mengusulkan rencana pembentukan suatu kelompok dokter pribumi yang mampu melakukan penanganan masalah kesehatan. Pada bulan Oktober 1847, Dr. W. Bosch menyarankan pendirian sekolah pendidikan kedokteran bagi orang pribumi ke pemerintah Hindia Belanda (11 Oktober 1847; letter No. 134). Pada tanggal 2 Januari 1849, terbitlah Keputusan Pemerintah No. 22, yang menetapkan bahwa “Sejumlah 30 pemuda suku Jawa akan dididik secara cuma-cuma menjadi tenaga dalam bidang kesehatan dan vaksinatur di beberapa rumah sakit militer”.
Sampai Dr. Willem Bosch (1798-1874), Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda, mengusulkan rencana pembentukan suatu kelompok dokter pribumi yang mampu melakukan penanganan masalah kesehatan. Pada bulan Oktober 1847, Dr. W. Bosch menyarankan pendirian sekolah pendidikan kedokteran bagi orang pribumi ke pemerintah Hindia Belanda (11 Oktober 1847; letter No. 134). Pada tanggal 2 Januari 1849, terbitlah Keputusan Pemerintah No. 22, yang menetapkan bahwa “Sejumlah 30 pemuda suku Jawa akan dididik secara cuma-cuma menjadi tenaga dalam bidang kesehatan dan vaksinatur di beberapa rumah sakit militer”.
Pada tanggal
1 Januari 1851, berdiri sekolah pelatihan dokter pribumi di rumah sakit militer
Batavia. Dr.Pieter Bleeker (1819-1878) adalah seorang perwira kesehatan, tangan
kanan Dr. W. Bosch, yang ditunjuk menjadi direktur sekolah pelatihan dokter
pribumi (1851-1860).
Di awal pendidikan,
terdapat 12 murid dan lama pendidikan adalah 2 tahun. Kurikulum pendidikan
mencakup ilmu pasti, ilmu alam, ilmu kimia, botani, zoology, ilmu patologi,
ilmu kebidanan, ilmu bedah, dan ilmu vaksinasi. Pendidikan diberikan dalam
Bahasa Melayu. Pada tahun 1853, lulus 11
orang dan diberi gelar Dokter Djawa (berdasarkan Keputusan Pemeritah No. 10
tanggal 5 Juni 1854), namun masih dipekerjakan sebagai mantra cacar/vaksinatur.
Selanjutnya oleh dinas kesehatan mereka ditempatkan di daerah-daerah sebagai petugas
kesehatan di bawah pengawasan dokter-dokter militer dan sipil. Nama lembaga
pendidikan kemudian berubah menjadi Dokter Djawa School.
Dr. Hermanus
Frederik Roll (1867-1935), adalah pendiri dan direktur pertama STOVIA (School
tot Opleiding van Indische Artsen) dalam bahasa Indonesia artinya: Sekolah
Pendidikan Dokter Hindia.
Prasasti ini
dibuat oleh murid-muridnya (para dokter lulusan STOVIA) sebagai bentuk
penghormatan dan untuk mengenang Dr. H.F. Roll atas jasa-jasanya dalam
memperjuangkan perbaikan mutu pendidikan kedokteran dan mendukung kegiatan
organisasi mahasiswa.
Apresiasi
terhadap Dr. H.F. Roll tertuang dalam tulisan di prasasti: “Ingenium Vitamque
Dedit Qui Sponte Perenni Proposito Nomen Percipiet Meritum”, yang berarti:
“Apresiasi kepada seseorang yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya.” Dan
kalau masih penasaran pengen tau tentang sejarahnya yang lebih detail, datang
saja langsung ke museumnya! Aku rasa kepanjangan jika harus mengetik menjelaskan semua sejarahnya! Hehehehe.....
Semua jejak
perjalanan panjang bertumbuh dan berkembangnya ilmu kesehatan di Indonesia,
tercatat rapi di sini.
Setelah kami
diajak berkeliling ke semua ruangan museum sambil dijelaskan oleh pemandunya,
kami berhenti di ruangan bermain anak-anak. Nah, di sini pemandunya menjelaskan
bagaimana cara menggosok gigi dan cuci tangan dengan bersih dan benar dengan
memberi contoh simulasi.
Sesudahnya,
kami diajak ke sebuah ruangan khusus, dan hanya anak 13 tahun ke atas yang
diijinkan masuk. Beruntung pada saat itu umurku sudah 13 tahun, jadi aku boleh
masuk, deh. Ternyata, di dalam ruangan itu tersimpan koleksi bagian-bagian
tubuh manusia yang asli. Dari janin hingga manusia dewasa. Untuk menghormati
pemilik dari bagian tubuh tersebut maka peraturannya dilarang memotret atau
berfoto di ruangan itu. Bagian tubuh yang dipajang bahkan sudah ada dari zaman
Belanda yang diawetkan dengan cairan formalin. Pemiliknya memang sudah
mengijinkan untuk menyumbangkan bagian-bagian tubuhnya untuk penelitian dan
kemajuan ilmu kedokteran. Sehingga kebermanfaatannya bisa kita pelajari hingga
saat ini dan masa yang akan datang. Mungkin kalau mereka tidak menyumbangkan
bagian-bagian tubuhnya, ilmu kedokteran tidak akan secanggih sekarang.
Aku kaget
bercampur merinding saat masuk ke ruangan tersebut karena selama ini aku belum
pernah melihat yang seperti itu.
Tapi, aku
lega setelah pemandunya menjelaskan bahwa pemiliknya telah ikhlas menyumbangkan
bagian-bagian tubuhnya untuk kemajuan ilmu kedokteran di Indonesia.
Di akhir
sesi kunjungan ke museum, kami langsung diberi goodiebag yang isinya brosur dan
lembar kerja siswa sesuai usianya.
Saat semua
sudah selesai, aku, Rio, Abel, Aqila, dan Fayyaz merasa lapar. Kami sepakat
ingin makan siang bareng di Megaria food court, tempat yang letaknya tak jauh
dari FKUI.(Aqila dan Fayyaz adalah adik kelasku saat aku masih SD).
Ini adalah foto-fotoku saat di museum IMERI.
Ini adalah penandatanganan prasati peletakan batu pertama
di gedung Salemba atau di gedung FKUI, 26 Agustus 1916.
Ini adalah penandatanganan prasati peletakan batu pertama
di gedung Salemba atau di gedung FKUI, 26 Agustus 1916.
Saat pemandunya menjelaskan
ke rombongan homeschooling kita
semua bagaimana proses pewarisan
sifat kita dari orang tua kita.
Ini adalah buku absen atau buku keterangan studi para siswa kedokteran zaman dulu di Geneeskundige Hoogeschool.
Gedung miniatur FKUI di Jakarta Pusat.